Hujan lebat malam ini membuat daun-daun melepaskan diri dan terbang melayang-layang yang mengikuti angin yang terhembus kencang yang di padu dengan tetesan air hujan dan berkolaborasi dengan lantunan suara petir yang menggetarkan hatiku yang sedang gelisah menanti kedatangan suamiku yang lama tak pulang dari kota metropolitan Jakarta, dia berjanji padaku akan pulang besok, sesekali anak perempuanku terbangun dari tidurnya karena suara petir yang sangat keras, malam itu hujan tak kunjung redah. Hingga ku tertidur di depan ranjang anakku. Pagi-pagi setelah mengantarkan kedua anak ku ke sekolah, ku langsung memasak makanan yang disukai suamiku, sambilku bayangkan wajahnya yang melahap makananku ini dengan lahapnya. tiba-tiba Jariku tergores pisau yang membuat lamunanku berhenti, segera ku cuci darah yang keluar dari jari-jariku. Ketika saatku menata meja makan ku, terdengar ketukan pintu, hatiku berdebar-debar senyumku terasa otomatis terukir di wajahku, ku buka pintu rumahku, dan ku begitu terkejut saat dua orang polisi serta di depan rumah sebuah mobil ambulan, “selamat siang bu”, polisi tersebut
membangunkan lamunanku, “dengan ibu desi”, “iii...ya pak”, “saya menemukan SIM dan STNK ini, apa ini milik suami ibu...”.. dag-dig-dug hatiku saat menerima SIM tersebut ku balik dan ku baca namanya, ya allah ini STNK suamiku, tetesan air mata kini tanpa henti membanjiri hatiku, saat polisi tersebut memberi tahuku kalau jenazah yang berada di mobil ambulance adalah jenazah suamiku. Ya allah kenapa kau coba ku dengan cobaan yang begitu amat berat bagiku, setelah beberapa tetangga datang dan telah diumumkan di masjid bahwa suamiku telah meninggal, Kedua anakku datang dari sekolahnya dan langsung ku dekap, anakku menangis sambil melihat jenazah ayahnya yang tak bisa dikenali karena telah banyak luka dan memar.
Empat puluh hari berlalu, ku selenggarakan empat puluh hari kematian suamiku, rasa sedih masih hinggap di hati dan pikiranku. Saat sedang membaca surat yasin.. “dug..dug..” suara pintu dengan pelan berbunyi, dan pintu dibukanya. Dan betapa terkejutnya aku, semua mata tertuju padanya, suamiku pulang, dan aku langsung tak sadarkan diri. Dan saatku tersadar, suamiku berada di sampingku. Aku yakin ini hanya mimpi, tapi dia mencoba menyadarkan ku bahwa dia benar-benar masih hidup, diceritakan padaku bahwa jenazah yang ku kira jenazah suamiku adalah orang yang mencopet dompetnya, dan dia dipukul hingga tak sadarkan diri dan tak tau jalan. Betapa senangnya hatiku, suamiku masih hidup, kami sekeluarga berpelukan menghilangkan rasa rindu dan kesedihan.
Hari-hari berjalan seperti biasanya. Hari ini ku antarkan kedua anakku dengan naik sepeda bersama suamiku, saat berada di depan sekolahan. suamiku mencium anakku dan memeluknya lama sekali, dan dia berpesan pada anakku “belajar yang rajin ya dan kalian harus menjagaa ibu kalau ayah ngak pergi,” “siap.. yah” jawab kedua anakku. Saat ku kembali bersepeda dengan suamiku, tiba-tiba “daag” . setelah itu aku tak sadarkan diri. Saat ku terbangun kedua anakku duduk di sampingku. Dan ternyata ku berada di rumah sakit. dan ku coba untuk bangun dari tempat tidur tapi ku tak bisa, kakiku tak bisa ku gerakkan. Terus ku coba tapi tetap tak bisa bangun. Fitri anakku memanggilkan dokter, dan saat itu ku cari-cari suamiku, tak ada dia di sini.. ku tanyakan pada hasan anak laki-lakiku, “dimana ayah?”. Tanyaku, dia menangis, membuatku bingung, dia menjawab sambil terseduh-seduh.. “aa..yaah suudah mening..gal bu dan iibu sudah lima hari tidur tak bangun”. Serasa di sambat petir, air mataku tak henti-henti mengalir,,, tak satu katapun kata yang bisa ku ucapkan. Sejak kapan suami meninggal? Kata itu ingin ku ucapkan, tapi tak bisa. Ku hanya bisa menangis, dokter datang dengan fitri, dia memeriksaku tapi tak satu katapun ku ucapkan ku hanya bisa menangis. Dokter menyuruhku tuk bangun, tapi rasanya kakiku tak bisa di gerakkan, berbagai macam tindakan yang dilakukuan dokter tersebut padaku. Setelah beberapa jam kemudian, beliau berkata padaku “maaf bu. kecelakaan yang terjadi telah merusak saraf anda, dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa ibu tidak bisa berjalan lagi,”.. ku tak dapat mempercayai ini semua, kedua anakku menangis, dan aku yang dari tadi menangis serasa ini adalah akhir dari hidupku. Hari itu ku selalu merusaha untuk berdiri, tapi tak bisa, ku tak menyerah tapi tetap ku tak bisa. Dua hal yang terberat di hidupku serasa aku ingin bunuh diri saja, tapi ku tau allah akan murka padaku dan juga aku masih memikirkan hidup ke dua anakku yang masih kecil
Dua hari kemudian ku pulang dari rumah sakit, ku bingung memikirkan biaya hidupku besok, aku seorang ibu rumah tangga, suamiku juga bukan pegawai negri, dia hanya pegawai di perusahaan swasta yang gajinya pas-pasan untuk hidup, tabungan suamiku hanya sekitar 2juta, sejak itu,hidup ku hanya tergantung dari hasil menjual emas dan menggunakan tabungan suamiku, aku bingung, jika tabungan dan emasku sudah habis, bagaiman ku dapat menghidupi anak dan diriku sendiri.
Saat emasku hanya tersisa cincin pernikahanku, ku bingung apa yang harus ku lakukan. Setelah mendapat dukungan dari tetanggaku, mereka mengajariku membuat rajutan, dan akhirnya ku jual cincin tersebut untuk membeli barang untuk merajut.
Satu minggu kemudian, aku tak punya uang sama sekali, hasil rajutanku tak bisa ku jual karena ku tak dapat berjalan, anakku meminta uang untuk membayar ulangan, ku hanya bisa menyanggupinya saja, bahkan kami makan hanya dari kasihan tetangga, otakku terasa buntu, sampai saat hari ulangan tiba, hasan yang masih kelas 1SD hanya diam di rumah dan menangis karena dia tak bisa mengikuti ulangan, dan betapa terkejutnya aku, anak pertamaku fitri pulang membawa uang empat puluh ribu rupiah, ku tanya padanya, dari mana dia dapat uang tersebut, “ iiini dari menjual koran dan barang bekas di belakang rumah bu, ngak papakan bu??”.. sambil menyerahkan uang tersebut ke adiknya. “ni dek.. masih jam tujuh.. pergi sana, bayar uang ujiannya empat puluh ribukan?” “iya kak”. Ku hanya terdiam, hasan menyahut tanganku tuk bersalaman dan dengan segera dia memakai sepatunya dan pergi ke sekolahan, “bu.. ini sisa uangnya, tinggal 15 ribu”fitri menyodorkan uang kepadaku. “buatlah uang itu untuk membayar uang sekolahmu saja, sisanya ibu akan jual rajutan ibu itu.”.. “biar fitri saja yang menjual rajutan itu bu.. fitri mau jual ke teman-teman fitri” “kamu ngak malu sama temanmu sayang..” dia menggelengkan kepala, ku dekatkan kursi rodaku, dan ku peluk dia, “fitri senang bantu ibu”. Ku menangis mendengar jawaban anakku yang masih duduk di bangku SD kelas empat ini. Sejak itu, perekonomianku semakin hari semakin membaik, fitri membanntuku menjual hasil rajutanku dan mempromisikannya di teman-temanya, dia yang berusia 9tahun dengan tanpa malu berjualan, bahkan dia juga mendapat peringkat di sekolahnya, hari-hari ku jalani, aku makin mahir dalam menbuat rajutan dan pernak-pernik, dan anakku dapat menjual hasil rajutanku tidak hanya di teman-temanya tapi di pasar. Dan ku dapat menghidupi keluarga kecilku ini dengan membuat rajutan dan menjualnya di depan rumah.
Saat fitri lulus dari MA, ia mendapat biaya siswa yang di sebut BIDIKMISI di salah satu kampus di jawa tengah, dan betapa bangganya ku padanya. Saat dia menemukan lelaki pilihannya, saat itu dia berjanji padaku untuk terus menjaga dan merawatku di hari-hari tuaku bersama suaminya. Dan saat hari pernikahannya tiba, hasan menjadi walinya, dan saat akad itu berlangsung ku berdo’a. “Ya allah bahagiakan lah sang pahlawan kecilku, cintai ia, dia benar-benar telah menjadi pahlawan kecilku ya allah..”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar